Ads (728x90)

Saturday 25 April 2015

Cahayapoker-Tidak Setuju Hari Imlek Libur



Era reformasi membawa angin segar untuk warga Tionghoa di Indonesia. Sebab, setelah runtuhnya Orde Baru, masyarakat Tionghoa bisa menggelar tradisi mereka di depan umum, termasuk merayakan Imlek atau tahun baru China yang jatuh pada Jumat (31/1/2014) ini.

Pada tahun 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat beragama Nomor 2/OEM-1946. Pada Pasal 4 peraturan itu menyebut tahun baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng (membersihkan makam leluhur), dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek), sebagai hari libur.

Namun, kondisi berbalik setelah Orde Baru. Warga Tionghoa tak bisa mementaskan seluruh kebudayaannya di muka umum. Larangan ini tak lepas dari sengkarut politik di Tanah Air, setelah peristiwa G30S. Orde Baru khawatir keturunan Tionghoa akan menyebarkan paham komunis di Indonesia. Memang, pada masa Sukarno, Indonesia berkawan karib dengan China, sementara pada masa Orde Baru hubungan itu diputus.

Pada tahun 1966, Ketua Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay memilih istilah China daripada Tionghoa. Sindhunata juga mengusulkan pelarangan total terhadap perayaan kebudayaan Tionghoa.

Namun, Soeharto kala itu menilai usulan Sindhunata itu berlebihan. Soeharto tetap mengizinkan perayaan kebudayaan Tionghoa, namun secara tertutup. Aturan itu kemudian diresmikan dengan Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Hampir 33 tahun warga Tionghoa tak bisa merayakan kebudayaannya di depan umum. Angin segar kemudian datang setelah reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang pementasan kebudayaan Tionghoa. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Sejak itulah kebudayaan Tionghoa kembali menggeliat. Pada 19 Januari 2001, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional. (Dari berbagai sumber/Eks/Ein)


Rasanya ada yang aneh dengan negara yang bernama Indonesia ini. Bagaimana tidak aneh, Orang Tionghoa, atau penulis lebih suka menyebut mereka orang Cina, bisa-bisanya diistimewakan melalui perayaan harinya, oleh pemerintah dijadikan sebagai tanggal merah atau hari libur dalam kalender resmi Indonesia. Dengan demikian Hari Imlek sejajar dengan Hari Natal, Tahun Baru, dan Maulid Nabi Muhammad Saw.

Mau ditempatkan pada posisi mana hari Imlek untuk disejajarkan. Kalau disandingkan dengan hari Natal atau Idul Fitri, jelas sangat bertolak belakang, sebab Imlek bukan perayaan agama Konghucu atau Tao. Di negerinya sendiri, RRC, peringatan Imlek dirayakan oleh kaum tak beragama, alias atheis. Sementara di negara-negara yang memiliki populasi etnis Cina, dirayakan oleh beragam agama, karena memang nyatanya hari Imlek bukan perayaan agama.

Tetapi kalau mau ditempatkan sejajar dengan Tahun Baru atau Tahun Baru Islam, rasanya janggal banget. Etnis sunda yang merupakan kelompok mayoritas terbesar ke-2 setelah etnis Jawa, seharusnya meminta jatah tanggal merah ke pemerintah pada saat peringatan Seren Tahun, atau juga etnis Melayu yang bahasa diklaim jadi Bahasa Indonesia meminta tanggal merah pada saat ditetapkannya jadi bahasa resmi. Lha ini etnis Cina yang diperhatikan. Asal tahu saja, jumlah etnis Cina di Indonesia, hanya 5% dari penduduk Indonesia. Etnis Cina ada di posisi 7 penghuni paling banyak di Indonesia, setelah Jawa, Sunda, Madura, Padang, Batak, dan Makassar.


Cerita hari Imlek dijadikan tanggal merah, yang secara otomatis jadi hari libur nasional dimulai sejak jaman presiden Gus Dur. Terang saja, Gus Dur memperingatinya dalam rangka upaya merayakan leluhurnya. Gus Dur adalah satu-satunya presiden Indonesia keturunan Cina. Dari kutipan wikipedia, disebutkan bahwa Gus Dur memiliki darah Cina, menurut pengakuannya, dia keturunan Tan Kim Han.

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa.[4] Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.[5][6]

Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.[6] Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Kalau pun benar, tidak selayaknya peringatan imlek dijadikan tanggal merah. Cukup dijadikan tanggal biru. artinya dibolehkan libur untuk kalangan etnis Cina. Etnis lain tak perlu ikut-ikutan libur. Dan kelihatan lucu, instansi-instansi pemerintah dan beberapa sekolah negeri yang biasanya jarang ada etnis Cina, harus libur di hari imlek yang nyata-nyatanya merupakan bagian budaya impor dari RRC sana. Amin.

No comments:

Post a Comment